Cukup mempesona buat saya pribadi, etnik budaya lampung memang keren, sekarang orang tidak lagi canggung atau anak sekarang bilang ‘dusun’ karna tidak pernah lagi melihat jenis rumah ini di perkotaan Bandarlampung.
Dahulu, saat belum ditemukan Teknologi Sipil atau Konstruksi bangunan modern seperti saat ini, para Leluhur kita (Lampung) menyiasati agar Bangunan rumah dalam mengantisipasi efek dari Gempa alam, dengan membuat konstruksi ‘Rumah Panggung’ dalam artian; Bangunan Rumah kaki-kaki fondasi yang menyentuh tanah itu tidak dengan membuat Tonggak atau Pilar / Kolom yang menghujam atau tertanam ke Tanah.
Akan tetapi menggunakan ‘Umpak’ semacam media perantara / kaki yg terpisah dan berdiri sendiri dari bangunan, sehingga Rumah apabila mendapat Tekanan dan goncangan Gempa, itu memiliki ‘Kelenturan’ yang bisa atau anggaplah sampai skala tertentu dapat meredam menetralisir mengikuti Goncangan gempa tsb, sehingga bangunan rumah tidak Roboh.
Selain itu, Rumah terlindung dari kelembaban dan binatang tanah ternasuk rayap, Lebih sejuk karena kelembaban udara didalamnya dikurangi dan Rumah tidak mudah kebanjiran.
Rumah Panggung juga kolongnya dapat dipakai untuk pelihara hewan ternak, lebih gampang memberi makan, diawasi dan dilindungi, bisa juga difungsikan sebagai lumbung pangan seperti padi, jagung dll dan sebagai tempat kerja bertukang, memperbaiki jaring ikan dll.
Kalau di kota metropolitan sepertinya sudah tidak ‘Afdol’ atau biasa lagi menggunakan rumah jenis ini, soalnya ttar dipake sebagai tempat anak tetangga pacaran juga malah rawan jadi tempat maling ngumpet dsb.
Saya sendiri lahir di Kota Bandarlampung dengan orangtua Ayah Suku Lampung Pesisir dan Ibu Suku Kalimantan Timur yang kelahiran Pesisir Barat dan fasih menggunakan bahasa lampung (Api).
Suku Pesisir atau Peminggir disebut “Saibatin” bermakna satu batin atau memiliki satu junjungan. Hal ini sesuai dengan tatanan sosial dalam Suku Saibatin, hanya ada satu raja adat dalam setiap generasi kepemimpinan. Budaya Suku Saibatin cenderung bersifat aristokratis karena kedudukan adat hanya dapat diwariskan melalui garis keturunan. Tidak seperti Suku Pepadun, tidak ada upacara tertentu yang dapat mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
Ciri lain dari Suku Saibatin dapat dilihat dari perangkat yang digunakan dalam ritual adat. Salah satunya adalah bentuk siger (sigekh) atau mahkota pengantin Suku Saibatin yang memiliki tujuh lekuk/pucuk (sigokh lekuk pitu). Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adoq, yaitu suttan, raja jukuan/depati, batin, radin, minak, kimas, dan mas. Selain itu, ada pula yang disebut awan gemisir (awan gemisikh) yang diduga digunakan sebagai bagian dari arak-arakan adat, diantaranya dalam prosesi pernikahan.
Seperti juga Suku Pepadun, Suku Saibatin atau Peminggir menganut sistem kekerabatan patrilineal atau mengikuti garis keturunan ayah
Suku Saibatin membentang dari timur, selatan, hingga barat. Wilayah persebaran Suku Saibatin mencakup Lampung Timur, Lampung Selatan, Bandarlampung, Pesawaran, Tanggamus, dan Lampung Barat.
Saya yang notabene kelahiran Lappung (Bahasa Daerah) cukup sulit membudayakan bahasa karena jarang dilatih bersama Ulun Lappung (Bahasa Lampung) artinya: Orang Lampung yang pandai menggunakan bahasa tersebut, hingga sering tercampur bahasa Melayu (sebutan B.Indo) dengan Bahasa Lappung.
Meskipun sudah hidup berpuluh tahun. Keunikan ini menurut saya terjadi karena Pertama orang suku Lampung enggan berkomunikasi menggunakan “bahasanya” kepada suku non-Lampung. Dominasi suku non-Lampung terutama Jawa sudah menjadi pemandangan yang sangat akrab bagi penduduk Lampung sendiri.
Memang, di sekolah-sekolah negeri di Provinsi Lampung terdapat muatan lokal Bahasa Lampung dan kami diajarkan mengenai aksara, penulisan, tari-tarian, dan tentu saja percakapan.
Ketika masih SD memang setiap libur sekolah keluarga selalu pulang ke Kampung (Krui Kabupaten Pesisir Barat) karna kedua orangtua memang penduduk asli disana dan disana saya sering melatih, mempraktekkan bahasa daerah tersebut bersama kawan atau saudara dari Kampung.
Namun semua, sekarang itu hanya sebatas di dalam ruang lingkup akademik, ketika dalam pergaulan sehari-hari mereka jarang bahkan hampir tidak pernah mengajak kami untuk mempraktekkan mengenai bahasa daerahnya yg sudah kami terima di dalam kelas, kebanyakan itu terjadi di Kota Bandarlampung. Apa gunanya teori tanpa praktek?
Kedua, secara umum dalam bekerja memang ada beberapa yang berbaur dengan etnis non-Lampung. Namun, mereka memiliki suatu daerah sentra yang menjadi pusat keluarga dan kegiatan adat mereka. Sepengetahuan saya, orang Lampung memiliki banyak acara adat, yang saya tahu adalah Begawi yang berlangsung selama 5-7 hari. Acara Begawi ini biasanya diadakan di daerah yang ada rumah adat dan tetua adat. [Hnf]