Ketika Suara Tak Lagi Didengar, ‘Santai bro, Semua bisa Diselesaikan’

Ketika Suara Tak Lagi Didengar, ‘Santai bro, Semua bisa Diselesaikan’

25F61AF0 A3EE 4BC5 AD50 665F2752DCD3 Ketika Suara Tak Lagi Didengar, ‘Santai bro, Semua bisa Diselesaikan’

Oleh: Iwa Perkasa

FAKTANYA, suara atau aspirasi yang disalurkan melalui pelantang di jalanan (unjuk rasa) sepertinya tak lagi didengarkan. Suara yang disampaikan melalui surat laporan pengaduan juga demikian: tak ada surat balasan jawaban. Semua diam. Suara di jalanan dan surat laporan yang dilayangkan oleh masyarakat, khususnya LSM hanya menjadi tumpukan laporan tak berguna semacam sampah.

Banyak kawan LSM yang mengatakan puluhan surat telah mereka layangkan ke kantor Kejaksaan. Surat itu terkait beragam pengaduan, mulai dari buruknya kinerja K/B/L sampai indikasi dugaan korupsi.

“Banyak sekali surat laporan/pengaduan kami yang tidak jelas progressnya. Pihak yang kami laporkan tidak diperiksa, dan kami pun jarang bahkan tak pernah dikirimkan surat balasan. Boro-boro sampai ke pengadilan,” kata seorang teman.

Aksi demo di jalanan semakin kehilangan roh, gak ngaruh. Surat laporan pun bukan sesuatu yang menakutkan bagi pihak terlapor.

“Santai bro, semua bisa diselesaikan,” demikian teman LSM lain mengatakan.

Semua orang tahu, terutama pers dan LSM, bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan adalah hasil pemeriksaan laporan keuangan lembaga pemerintahan, dimana dokumennya menyajikan tiga hal, yaitu opini, temuan audit dan kesimpulan atau rekomendasi BPK RI.

Secara substantif laporan BPK itu menjelaskan indikasi terjadinya pelanggaran, dugaan korupsi dan potensi kerugian negara.

Menariknya, LHP inilah yang kerap menjadi bahan laporan masyarakat oleh LSM atau pun penggiat anti korupsi. Namun tebalnya LHP BPK jarang sekali berujung ke pengadilan, meski LSM ramai menyurati secara masif.

“Laporan kami seperti terhalang tembok. Tidak ditindaklanjuti, dan sepertinya kami harus memikirkan cara agar bisa ‘merobohkan’ tembok-tembok itu sehingga kami dapat melihat dengan jelas apa yang dikerjakan oleh para penegak hukum
itu,” kata seorang teman penggiat anti korupsi.

Cara itu, sesungguhnya telah dimulai di Sumatera Selatan (Palembang), tatkala gabungan ormas dan LSM ramai-ramai menuntut Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel mundur lantaran banyak laporan pengaduan yang mandek tak sampai ke pengadilan.

Namun usaha itu sepertinya belum berhasil lantaran penyampaian tuntutan tidak dilakukan secara masif oleh sebab berbagai kepentingan.

Lalu, kemarin ada peristiwa yang mencengangkan.
Ratusan massa dari unsur mahasiswa dan petani berunjuk rasa dengan cara memilif lokus yang tak biasa,

Mereka menjauh dari Tugu Adipura, juga tak bergerak ke kantor-pemerintahan, dewan dan kantor kejaksaan. Mereka memilih berunjukrasa di depan Kantor Pos Kota Bandar Lampung yang biasa hanya ramai saat pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Ketua Perwakilan Dewan Rakyat Lampung, Rio mengatakan, pihaknya memilih kantor pos sebagai lokasi demo lantaran tak percaya lagi dengan pemerintah. Kantor pos dianggap lebih amanah daripada pemerintah.

“Lebih baik demo di sini, dari sinilah kami bisa menyerahkan surat pengaduan untuk alam semesta,” ucap Rio.

Duh…duh…duh.(*)