CelotehNewsPolitikSosBud

Jika Tiongkok Berubah Jadi Negara Demokratis, Akankah AS Berhenti Musuhi Tiongkok?

×

Jika Tiongkok Berubah Jadi Negara Demokratis, Akankah AS Berhenti Musuhi Tiongkok?

Sebarkan artikel ini

Penulis Drs. David Sulistyo Widihandojo, B.Sc., Ph.D

Dosen S2 Kajian Konflik dan Perdamaian
Dosen Political Economics.

Dibalik pertanyaan ini ada asumsi bahwa AS pejuang demokrasi sehingga dia (AS) tidak menyukai adanya pemerintahan yang otoritarian/anti demokrasi. Oleh karena Tiongkok otoritarian maka berubahlah menjadi sebuah demokrasi maka AS akan menghentikan permusuhannya.

Maaf sebelumnya, kepada penanya, bangunlah dari tidur anda! Lihatlah dunia ini, tengoklah sahabat kita di Timur Tengah, pemerintahan yang resmi dan dipilih rakyat secara demokratis di Irak, Libya dan Suriah dihujani bom dan ratusan ribu rakyat tak bersalah terkapar dibawah hujan bom, yang dijatuhkan oleh “sang pahlawan demokrasi.”
Lihat juga nasib tetangga kita di utara, Jepang.

Apakah Jepang bukan sebuah demokrasi? Apakah kesalahan Jepang? Pemerintahan komunis? Bukan! Bahkan pendukung AS yang dekat dan setia. Apa yang dilakukan “sang pahlawan demokrasi?” Melancarkan perang dagang, menangkap dan memenjarakan direktur Toshiba tanpa kesalahan apapun, Jepang harus membayar $ 1 trilyun dan menandatangani Plaza Accord dimana Jepang wajib memberikan akses kepada AS ke riset teknologinya.

Mengapa AS melakukan tekanan begitu begitu keras kepada Jepang? Karena perusahaan Jepang Toshiba sukses mengembangkan teknologi semi konduktor yang begitu unggul melebihi milik AS.

jawaban pertanyaan diatas adalah tidak! Apa yang diharapkan AS adalah Tiongkok datang untuk kow-tow dan berlutut didepan AS. Namun ini tidak terjadi karena Tiongkok tidak mungkin mau menyerah.

Mengapa AS begitu keras sekalipun dengan sobat dan pendukungnya Jepang? AS adalah adi kuasa dengan pola pikir (mindset) Kaisar Roma, 2000 tahun yl.

Layaknya kaisar Roma yang menempatkan tentaranya di pos-pos militer dari Palestina, Mesir, Afrika Utara hingga Gallia di Eropa saat itu, demikian juga AS saat ini,

Demikian juga layaknya kaisar Roma yang tidak senang melihat negara lain, Carthage di Tunisia, tumbuh berkembang, makmur sebagai pusat perdagangan di Laut Tengah. Melihat Carthage bisa berkembang makmur melebihi Roma apakah reaksi Roma? Reaksinya adalah serbu! hancurkan Carthage! Apa kesalahan Carthage? Salahnya mereka rajin dan kerja keras sehingga negaranya tumbuh kaya dan makmur (Lihat, Punic Wars, 246–146 BC, Wikipedia).

Bukankah gagasan yang kaisar dan senator Roma saat melihat Carthage di Tunisia tumbuh makmur dan memiliki potensi melewati Roma adalah hancurkan! Reaksi yang sama juga dilakukan AS terhadap Jepang dan kini Tiongkok?

AS sebagai adi kuasa dengan filosofi Judeo-Christianity dan semangat evangelical sehingga cenderung kurang menghargai budaya dan nilai lain dan ingin mengubahnya supaya cocok dengan dirinya.

Artinya, dirinya sendiri sebagai pusat dan tidak boleh ada negara lain yang melebihi dirinya. Dengan demikian bagi AS relasi-relasi politik adalah antara mereka yang mengatur dan mereka yang tunduk diatur, antara adi kuasa dan negara-negara pinggiran.

Namun bagi AS Tiongkok adalah lawan yang jauh berbeda dengan Russia. Oleh karena relasi AS – Tiongkok telah terkait erat. Saling terkait erat (entangled) terutama ekonomi & bisnis. Tiongkok adalah pemberi pinjaman terbesar kedua y.i sebesar $ 1.3 trilyun, perusahaan-perusahaan manufaktur AS memindahkan industrinya di Tiongkok sehingga transfer kekayaan AS yi berupa keuntungan mencapai puluhan milyar US pertahun, produk farmasi dan kebutuhan sehari-hari rumah tangga AS adalah buatan Tiongkok. Apakah mungkin menggantikan peran Tiongkok?

CEO Apple tegas mengatakan sampai saat ini posisi Tiongkok tidak tergantikan bahkan oleh AS. Karena Tiongkok memiliki iklim yang mendukung industri yang sangat kondusif. Faktornya bukan buruh murah – faktor ini telah lama lenyap – namun terletak pada kualitas skill buruh yang prima, manufacturing supply chain yang prima dan menunjang industri tsb dan dukungan lokal market yang sangat besar. Faktor-faktor inilah yang membuat investasi di China sangat menguntungkan dan tidak dapat digantikan.

AS juga kesulitan melakukan perang ideologi dengan Tiongkok. Memang ada politisi dan media AS yang melakukan klaim bahwa Tiongkok adalah komunis dan AS kapitalis, Tiongkok otoritarian dan AS demokratis. Suatu gagasan rejim komunis model Stalin. Gagasan yang sama yang saat ini diyakini oleh para China Haters dinegara kita ini.

Namun melancarkan serangan kepada Tiongkok dengan gagasan semacam ini jelas hanya menunjukkan kebodohan belaka.

Tiongkok bukanlah Stalinist State Partai Komunis Tiongkok mengambil langkah sendiri yang sangat cerdik dan adaptif dengan kondisi global abad 21. Dibawah Jiang Zhemin tahun 1990 yang lalu mereka melakukan reformasi total pada diri mereka sendiri.

Mereka merombak total seluruh strategi partai dari perjuangan ideologi yang hanya cocok dimasa Perang Dingin (Cold War), mereka membuang Cold War mentality jauh-jauh dan menggantikannya dengan strategi baru yang lebih cocok dengan tuntutan abad 21.

Oleh karena para politisi dan media AS sibuk menyerang Tiongkok dengan tuduhan otoritarian model rejim Stalin. Akibatnya bukan hanya kaum intelektual/akademisi seperti Joseph Stiglitz dan Deborah Brautigram yang membantah.

Namun para ekspat Barat sendiri juga membantah dan tegas menyatakan para politisi White House dan media telah melancar fake news atas Tiongkok. Lihat,

Dua video diatas ini hanya sebagian kecil contoh kesaksian dari para turis dan ekspat Barat yang mengatakan bahwa mereka telah ditipu media karena apa yang mereka saksikan di Tiongkok jauh berbeda.

Tinggalkan Balasan