REAKSI.CO.ID—–Pemerintah Provinsi Lampung kembali merombak lima jabatan pimpinan tinggi pratama, langkah yang diklaim sebagai upaya mempercepat reformasi birokrasi dan peningkatan layanan publik.
Namun di tengah stagnasi layanan dasar dan lemahnya inovasi kebijakan, publik menagih lebih dari sekadar pelantikan seremonial yang dibungkus jargon perubahan.
Pelantikan dilakukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Lampung, Marindo Kurniawan, mewakili Gubernur Rahmat Mirzani Djausal, di Kantor Gubernur Lampung, Jumat (5/12/2025), untuk mengisi posisi strategis di sektor ekonomi, investasi, pengadaan barang/jasa, dan layanan kesehatan—empat ranah yang selama ini menjadi sumber keluhan efektivitas anggaran dan krisis tata kelola.
Lima pejabat yang dilantik adalah Evie Fatmawaty (Kadis Koperasi dan UKM), Intizam (Kadis Perkebunan), Samsurizal (Kadis Penanaman Modal dan PTSP), Sukmawan Hendriyanto (Karo Pengadaan Barang/Jasa), dan Yusmaidi (Wakil Direktur Keperawatan RSUD Abdoel Moeloek).
Dalam sambutannya, Sekda kembali menekankan prinsip integritas, inovasi, koordinasi lintas sektor, dan transformasi digital. Namun narasi ini bukan hal baru. Selama satu dekade terakhir, hampir setiap pelantikan pejabat di Lampung memuat janji serupa, sementara layanan publik tetap lambat, prosedural, dan jarang diukur dengan indikator hasil yang transparan.
Lampung menghadapi persoalan mendasar seperti rendahnya daya saing investasi, ekosistem perizinan yang lamban, ketergantungan pada komoditas primer, layanan kesehatan yang rentan keluhan, serta sistem pengadaan yang rawan inefisiensi.
Dengan APBD yang didominasi belanja rutin, pejabat baru dihadapkan pada tantangan yang tidak sekadar administratif, tetapi struktural: efisiensi anggaran, pemutusan patronase, dan kepemimpinan berbasis data.
Transformasi digital kembali digaungkan sebagai prioritas, namun masalah sebenarnya bukan pada teknologi, melainkan budaya birokrasi yang resisten terhadap keterbukaan data, transparansi, dan akuntabilitas publik. Tanpa perubahan kultur, digitalisasi hanya akan melahirkan dashboard kosmetik yang tidak menggerakkan perilaku organisasi.
Rotasi ini juga memicu spekulasi bahwa pemerintah sedang menyiapkan pergeseran komposisi pejabat di level Asisten Sekda, simpul penting koordinasi lintas OPD yang membutuhkan kecakapan.
Jika reposisi dilakukan, dampaknya bukan hanya administratif, tetapi struktural karena akan mengubah arus koordinasi lintas sektor, memaksa OPD lebih sinkron, sekaligus menggeser pusat gravitasi kekuasaan birokrasi.
Namun perubahan di level ini sensitif secara politik karena posisi asisten adalah ruang transaksi pengaruh, bukan sekadar teknis koordinasi. Reposisi di level ini juga pelik karena faktor senioritas.
Di sisi lain, rotasi ini berpotensi menguntungkan pemerintah dalam membangun barisan birokrasi baru yang lebih loyal dan adaptif terhadap agenda kebijakan gubernur. Pejabat yang ditempatkan pada sektor-sektor strategis seperti investasi, UMKM, dan pengadaan memiliki leverage besar karena bersentuhan dengan regulasi, anggaran, dan aktor ekonomi. Dengan demikian, pemerintah dapat memperkuat kontrol anggaran sekaligus mengurangi resistensi dari jaringan birokrasi lama.
Sebaliknya, figur-figur senior yang dianggap pasif, tidak adaptif, atau tidak “sevisi”, berpotensi terancam dalam gelombang berikutnya. Jika rotasi merambat ke level asisten, pejabat mapan berisiko kehilangan pengaruh, jaringan informal bisa terputus, dan pola negosiasi anggaran akan berubah. Dengan kata lain, rotasi tidak hanya soal perombakan kinerja, tetapi reorganisasi kekuasaan.
Narasi reformasi birokrasi selalu tampak ideal, tetapi dinamika kekuasaan di baliknya jauh lebih pragmatis. Rotasi digunakan untuk membangun barisan baru, memotong jalur patronase lama, dan menanamkan figur-figur yang dapat mengamankan agenda politik pemerintahan. Jika langkah ini mampu memadukan kinerja dan meritokrasi, Lampung akan diuntungkan. Namun jika rotasi hanya menghasilkan wajah baru dengan perilaku lama, publik tidak akan melihat perubahan substantif.
Dengan publik semakin kritis, pejabat baru tidak cukup bekerja “sesuai aturan”. Mereka harus membuktikan bahwa jabatan publik bukan sekadar rotasi kekuasaan, tetapi instrumen untuk mengubah kualitas hidup warga. Jika tidak, perombakan ini akan bernasib sama seperti banyak pelantikan sebelumnya: simbolik, seremonial, dan steril dari perubahan struktural. (Hanif)











