BeritaCelotehDaerahEkonomiNasionalNewsPemerintahanSosBud

Relaksasi Rafaksi Ubi Kayu: Politik Simulasi Mengulur Waktu agar Perda Tidak Dipermalukan

Relaksasi Rafaksi Ubi Kayu: Politik Simulasi Mengulur Waktu agar Perda Tidak Dipermalukan (Foto Istimewa)

REAKSI.CO.ID—-Pemerintah Provinsi Lampung tampaknya mulai mempraktikkan seni baru dalam tata kelola manajemen penundaan. Relaksasi kebijakan dijual sebagai oksigen bagi dunia usaha, bantalan sosial bagi masyarakat, dan pelumas bagi roda ekonomi. Namun dibalik wacana mulia itu, publik melihat ini lebih mirip anestesi, menunda rasa sakit, bukan menyembuhkan penyakit.

Ironisnya, relaksasi ini selalu datang tanpa kerangka regulasi yang jelas. Perda yang seharusnya menjadi panduan arah justru melunak, bahkan sebaiknya dicabut saja.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Relaksasi rafaksi ubi kayu diterbitkan sekedar untuk penyelamatan, supaya tidak kehilangan muka. Perda termodifikasi secara administratif, tak pernah benar-benar dieksekusi.

Maka, relaksasi di balik meja birokrasi, berfungsi sebagai kartu “skip turn”, dan berharap perubahan kepemimpinan bisa menghapus jejak kegagalan.

Sementara itu, pelaku usaha hanya mendapat keringanan dalam bentuk penangguhan, bukan penyelesaian, yang membuat neraca mereka seperti pasien ICU, hidup tapi dikendalikan tabung.

Masalah inti bukan pada relaksasi, melainkan pada absennya desain regulasi yang mengikat. Perda yang lunak, longgar, atau sekadar simbolik, membuat relaksasi menjadi tak lebih dari pengumuman moral. Tanpa kerangka hukum, setiap kebaikan hati pemerintah hanyalah replikasi dari kebiasaan lama, bermain simulasi dan memperbanyak seremoni.

Daerah ini tidak kekurangan kebijakan. Tapi daerah ini kekurangan keberanian untuk memutus siklus ketidakpastian. Relaksasi memang memberi jeda, tapi jeda tanpa arah hanya memperpanjang derita.

Perda yang “kehilangan muka” karena relaksasi atau penundaan berpotensi munculnya krisis kepercayaan.

Relaksasi hanya sebatas strategi bertahan hidup jangka pendek, sedangkan Perda seharusnya menjadi kontrak jangka panjang.

Tapi bila yang jangka pendek digunakan untuk menunda, dan yang jangka panjang diperlambat untuk diselesaikan, maka kita sedang membangun ekonomi seperti menulis surat cinta tanpa alamat, emosional, penuh harapan, tapi tidak akan sampai ke siapa pun.

Pemerintah boleh sibuk menjual narasi pemulihan, tapi publik mengamati fakta bahwa relaksasi mengulur waktu, dan Perda mengulur harapan.

Dan bila ini terus dibiarkan, bukan hanya ekonomi yang hilang arah. Legitimasi kepemimpinan pun ikut habis masa relaksasinya.

Penulis: Hanif

Exit mobile version