News

Praktisi Hukum: Ikan Asin Berbelatung di Fitrinofane Diduga Langgar UU Perlindungan Konsumen

×

Praktisi Hukum: Ikan Asin Berbelatung di Fitrinofane Diduga Langgar UU Perlindungan Konsumen

Sebarkan artikel ini

Reaksi.co.id—BANDAR LAMPUNG–Kasus ikan asin berbelatung yang dijual di Swalayan Fitrinofane Bandar Lampung, kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap keamanan pangan di ritel modern.

Insiden ini mendapat sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum perlindungan konsumen, yang menilai kasus tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Praktisi hukum, Yanuar S.H, Praktisi Hukum LBH PWRI, menegaskan bahwa temuan produk pangan busuk dan dipenuhi belatung adalah bentuk nyata pelanggaran hak konsumen.

“Pasal 8 ayat (1) UUPK jelas menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, bekas, atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Apa yang terjadi di Fitrinofane jelas bertentangan dengan pasal tersebut. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tapi bisa masuk ranah pidana,” tegas Yanuar, Senin, (29/9/2025).

Ia menambahkan, kewajiban pelaku usaha juga tercantum dalam Pasal 7 UUPK, di mana setiap pelaku usaha wajib beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, serta menjamin mutu barang dan jasa yang diperdagangkan.

“Kalau ikan asin berbelatung bisa lolos dijual, artinya ada kelalaian sistemik dalam manajemen pengawasan mereka,” ujarnya.

Lebih jauh, Yanuar SH menyebut konsumen yang dirugikan berhak menuntut kompensasi sesuai Pasal 19 UUPK.

“Pasal itu tegas menyebut, pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian akibat mengonsumsi barang yang diperdagangkan. Permintaan maaf tidak cukup, harus ada kompensasi nyata,” jelasnya.

Yanuar juga mengingatkan bahwa UU memberikan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang membiarkan produk berbahaya beredar di pasaran.

“Pasal 62 UUPK menyebut, pelaku usaha yang melanggar bisa dipidana penjara maksimal lima tahun atau denda hingga Rp2 miliar. Jadi ini persoalan serius, bukan sekadar insiden kecil,” tegasnya.

Ia mendesak pemerintah, khususnya BPOM dan Dinas Perdagangan Lampung, segera turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap pengawasan pangan di swalayan modern.

“Jangan hanya berhenti pada teguran administratif. Kalau dibiarkan, artinya negara membiarkan masyarakat membeli produk berbahaya tanpa perlindungan,” ujarnya.

Yanuar menutup pernyataannya dengan menyampaikan konsumen punya hak atas keamanan dan kenyamanan dalam berbelanja.

“Kalau ritel modern tidak bisa menjamin itu, maka izinnya harus dievaluasi. Jangan biarkan konsumen jadi korban berulang kali,” pungkasnya.(tim)

Tinggalkan Balasan