REAKSI.CO.ID—- Membuka ruang perdebatan publik. Kasus penggerebekan pesta narkoba yang melibatkan sejumlah pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung di room karaoke Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung, Kamis (28/8/2025).
Menurut pemberitaan, para pengurus HIPMI membeli 20 butir ekstasi. Namun, saat aparat masuk, hanya tersisa tujuh butir: empat berlogo transformers warna kuning biru dan tiga berlogo minion kuning.
Muncul pertanyaan besar publik : kemana 13 butir ekstasi lainnya?
Antara Kepemilikan dan Penyalahgunaan
Dalam kerangka hukum, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan dua jalur pemidanaan. Pasal 112 ayat (1) menjerat kepemilikan narkotika golongan I bukan tanaman, dengan ancaman pidana 4–12 tahun penjara. Sementara Pasal 127 ayat (1) huruf a menjerat penyalahgunaan untuk diri sendiri dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara.
Disinilah peran SEMA No. 4 Tahun 2010 sering kali menimbulkan tafsir. Surat edaran itu memberi pedoman administratif bahwa ekstasi baru bisa dianggap kepemilikan bila berjumlah minimal delapan butir. Artinya, kasus dengan tujuh butir cenderung dialihkan ke kategori penyalahgunaan. Padahal, SEMA sejatinya bukan norma hukum primer, melainkan pedoman internal peradilan.
Dalam kasus HIPMI Lampung, ditemukan tujuh butir ekstasi ditambah hasil tes urine positif. Berdasarkan KUHAP Pasal 1 angka 14, dua bukti tersebut sudah cukup sebagai bukti permulaan. Maka, perkara ini tetap bisa diproses pidana tanpa harus bergantung pada ambang batas delapan butir.
Rehabilitasi dan Potensi Penyalahgunaan
Perdebatan berikutnya terletak pada wacana rehabilitasi. Peraturan Bersama enam kementerian/lembaga tahun 2014 memang memberi ruang bagi pecandu dan korban penyalahgunaan untuk menjalani perawatan di lembaga rehabilitasi. Namun, mekanismenya harus melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT) BNN, yang berwenang menentukan peran tersangka, tingkat keparahan, dan rekomendasi rehabilitasi.
Proses asesmen ini wajib transparan, terdokumentasi resmi, dan menjadi bagian dari berkas perkara. Jika tidak, rehabilitasi akan dipersepsikan publik sebagai bentuk jalan pintas atau bahkan privilege hukum.
Perlu ditekankan: rehabilitasi tidak menghapus proses hukum. Tersangka tetap harus menjalani proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Hanya saja, pelaksanaannya dapat digabung dengan program perawatan.
Konsistensi Penegakan Hukum
Kasus HIPMI Lampung ini menyingkap persoalan klasik: ketimpangan dalam penegakan hukum narkotika. Rakyat kecil kerap dijatuhi hukuman berat meski dengan barang bukti minim, sementara mereka yang memiliki akses ekonomi atau politik justru lebih mudah diarahkan ke jalur rehabilitasi.
Negara tidak boleh membiarkan hukum berjalan timpang. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika kasus ini berakhir hanya dengan rehabilitasi tanpa proses hukum yang transparan, maka pesan yang sampai ke publik adalah: hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Misteri hilangnya 13 butir ekstasi itu seharusnya menjadi alarm. Bukan hanya tentang barang bukti yang lenyap, tetapi tentang bagaimana konsistensi hukum diuji di depan mata kita. (*)
Oleh: Dr. Dwi Putri Melati, S.H., M.H.
Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa