Reaksi.co.id—(BANDAR LAMPUNG)—kemarin pagi hingga sore Senin (01/8) diguncang ribuan massa dari berbagai elemen mahasiswa, aktivis, hingga kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Lampung Melawan. Aksi dengan tajuk “Lampung Menolak Diam, Indonesia (C)emas” dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB dari Museum Lampung menuju Gedung DPRD Provinsi Lampung.
Massa aksi yang serba hitam sudah bertekad membawa 13 tuntutan besar, mulai dari UU Perampasan Aset, pemangkasan gaji DPR, hingga reformasi total Polri. Isu-isu berat itu digeber dengan narasi lantang: *Jika tuntutan diabaikan, rakyat tak lagi bicara reformasi, melainkan revolusi Total*
*Tuntutan Berat, Perut Tetap Jadi Nomor Satu*
Namun di balik retorika besar itu, ada ironi kecil yang membuat aksi ini terasa berbeda dari demonstrasi legendaris 1998.
Agam Kusuma Yuda Ex Presiden Mahasiswa STKIP PGRI Bandar Lampung Mengungkapkan,— “Kalau dulu mahasiswa bisa bertahan di jalan sampai petang tanpa logistik memadai bahkan rela hanya minum air keran dan duduk di aspal panas maka 2025 punya polanya sendiri.”
Kini, semboyan yang tak tertulis seolah berbunyi: “Perut Kenyang, Demo Jadi Tenang.” Ungkap Agam Kusuma Yuda, Selasa (02 Sept 2025)
Sebuah adagium baru yang muncul dari pengalaman lapangan: *Energi orasi bisa menurun drastis begitu kotak nasi bungkus dibagikan*
Jangan heran jika menjelang pukul 3 sore, massa mulai mengendur. Bukan karena tuntutan selesai, melainkan karena kekenyangan dan kantuk lebih kuat daripada “idealisme”
1998 vs 2025: Dari Idealisme ke “Logistikalisme”
Tentu, setiap zaman punya gayanya. Tahun 1998, demonstrasi mahasiswa adalah adu stamina bertahan berhari-hari tanpa kepastian logistik, tidur di pelataran kampus, bahkan siap dihantam gas air mata tanpa tahu kapan pulang.
Demonstrasi lebih mirip event besar dengan paket konsumsi. Panitia menyiapkan dress code, banner estetik, dan tentu saja, konsumsi yang memastikan massa tidak kehabisan tenaga. Sebuah kombinasi antara perlawanan moral dan manajemen acara.
Aduh, ini jelas berbeda dulu mahasiswa lapar demi perubahan, sekarang mahasiswa takut lapar meski bawa tuntutan perubahan.
Selanjutnya Agam menerangkan dengan wawasan dan pengalamannya,— “Fenomena aksi Aliansi Lampung Melawan hari ini memang menjanjikan dentuman politik, tapi juga memperlihatkan bagaimana budaya demo ikut berevolusi.”
Dari semangat “Reformasi Sampai Mati” kini bergeser ke “Reformasi Sampai Nasi.” Tutup Agam Kusuma Yuda.
Dan di situlah kita bisa tersenyum getir: idealisme tetap ada, tapi jangan sampai logistik lebih penting daripada logika.