EkonomiNasionalNews

Makna Strategi Pensiun Dini PLTU

×

Makna Strategi Pensiun Dini PLTU

Sebarkan artikel ini

Penulis: Eko Sulistyo

 

Indonesia tengah melakukan lompatan besar, jika tidak boleh dibilang raksasa, ketika memasang target ambisius penghentian (phase-out) pembangunan dan operasionalisasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara penuh pada 2060. Penghentian PLTU, yang dimulai dengan program pensiun dini atau early retirement, sejalan dengan Kesepakatan Paris 2015 untuk menahan laju panas bumi di bawah 1,5 derajat celsius.

Pensiun dini PLTU memiliki arti strategis sebagai tahapan krusial dari rencana yang lebih besar dan bersifat global. PLTU merupakan salah satu sumber terbesar emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca (GRK). Sementara penghentian PLTU, penting bagi dekarbonisasi Indonesia, karena kapasitas batubara masih dominan menyumbang energi kelistrikan nasional, sekitar 61 persen.

Saat KTT G20 di Bali, pertengahan November lalu, Indonesia, tidak hanya mendapat apresiasi internasional, tapi juga komitmen pendanaan dari negara-negara maju untuk membantu pensiun dini PLTU. Diantaranya, skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM).

Skema JETP dan ETM terutama untuk pembiayaan pensiun dini sejumlah PLTU, seperti PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 megawatt (MW) sebagai proyek rintisan. Selain untuk penghentian PLTU, dana JETP juga disiapkan untuk pengembangan proyek lain berbasis energi bersih, seperti kendaraan listrik dan riset pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

*Ketahanan Energi*

Pensiun dini PLTU dan program transisi energi harus dibaca dalam konteks menjaga keberlangsungan kegiatan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pemerintah selalu berupaya meningkatkan ketahanan energi, terutama pasokan energi yang berkualitas sebagai kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Sementara penyediaan energi yang terjangkau dan ramah lingkungan merupakan manifestasi tujuan pembangunan berkelanjutan. Pemenuhan target pasokan energi dijalankan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan penggunaan berbagai sumber energi, baik energi fosil maupun energi terbarukan.

Saat ini, PLTU masih dibutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan sektor transportasi sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia maupun global. Angkutan barang dan penumpang adalah konsumen utama bahan bakar berbasis fosil.

Itu sebabnya pemerintah telah merumuskan kebijakan ekosistem kendaraan listrik sebagai moda transportasi yang lebih berkelanjutan. Program ini sering disebut elektrifikasi atau dekarbonisasi sektor transportasi. Jika PLTU masih bisa dipertahankan untuk memasok energi sektor transportasi, pemanfaatan EBT bisa ditingkatkan kapasitasnya bagi sektor bisnis (swasta) dan rumah tangga.

Pengalaman Jerman bisa menjadi inspirasi. Kendati sempat memanfaatkan batubara kembali karena krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina, Jerman tetap menjaga ambisinya dalam transisi energi. Jerman tetap berkomitmen menutup PLTU mereka pada 2030, sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Gas alam cair yang diimpor dari Rusia, sejatinya adalah jembatan bagi transisi energi Jerman.

Untuk mencapai Indonesia Net Zero Emission 2060, pemerintah telah menegaskan bahwa batubara bersama minyak dan gas, bakal dioptimalkan pemanfaatannya sebelum energi terbarukan siap menjadi tulang punggung pasokan energi di Indonesia. Pada titik ini kita melihat paralelisme, akan tiba masanya batubara akan diposisikan sebagai “jembatan” sebagaimana gas alam di Jerman.

*Tantangan dan Harapan*

Menteri Keuangan Sri Muyani, pernah menegaskan kepada PLN tentang posisi strategisnya menjawab tantangan sekaligus harapan dalam transisi energi di Indonesia.

Pertama, PLN harus mampu memenuhi suplai energi bagi masyarakat dan sektor bisnis, seraya tidak menambah emisi. Kedua, PLN bisa menjadi role model korporasi dunia dalam menjaga keseimbangan antara suplai energi bersih versus mereduksi ancaman perubahan iklim.

Optimisme Menteri Keuangan Sri Mulyani, tentu bukan tanpa alasan. PLN saat ini tengah menyiapkan beberapa program strategis terkait pensiun dini PLTU dan upaya mengurangi penggunaan batubara di sejumlah PLTU.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN akan menghapus 13,3 gigawatt (GW) PLTU. Dalam waktu dekat PLN akan menterminasi PLTU kapasitas 1,3 GW, digantikan pembangkit listrik dari EBT. Target yang dicanangkan PLN sampai 2030, EBT mampu menghasilkan 20,9 GW dari total 40,6 GW daya listrik PLN.

Dengan rincian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 10,4 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 4,7 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 3,4 GW, dan 2,5 GW dihasilkan dari pembangkit EBT lainnya.

Kabar baik ini terus berlanjut, ketika dalam peluncuran ETM Country Platform baru-baru ini, Asian Development Bank (ADB) akan mendukung pendanaan pensiun dini PLTU Cirebon. Pensiun dini PLTU Cirebon akan menjadi model kolaborasi antara lembaga dana atau investor (ADB), PLN dan pengembang energi listrik swasta (IPP).

Secara terukur PLN juga terus melakukan proyek rintisan di lapangan untuk meningkatkan penggunaan EBT dan biomassa. Fokusnya bagaimana meningkatkan co-firing biomassa untuk PLTU sekaligus menguatkan rantai pasoknya. Saat ini elah ada 13 PLTU yang menerapkan co-firing biomassa dari total 18 PLTU yang telah diuji coba, yang menghasilkan listrik sebesar 269 GWh dari co-firing 276 kilo ton biomassa di 2022.

Keseriusan PLN melakukan transisi energi juga tercermin melalui dua Subholding PLN, yakni Indonesia Power (IP) dan Energi Primer Indonesia (EPI). PLN IP telah mengelola 1,5 GW pembangkit berbasis EBT dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Kapasitas EBT ini akan meningkat menjadi 8,1 GW di 2030 seiring pembangunan pembangkit EBT dari sumber daya lain, seperti tenaga surya, angin, hingga gelombang laut.

PLN juga telah menyiapkan teknologi yang dapat menjadi solusi atas intermiten EBT seperti penyimpanan daya listrik atau energy storage. Teknologi ini dapat meminimalisasi dampak perubahan kondisi cuaca terhadap keandalan pasokan listrik. Sebagai sumber energi, matahari tidak bersinar terus dan angin adakalanya berhenti berembus.

Kendala yang sama terjadi pada PLTS (panel surya) dan PLTA. Yang disebut terakhir ini bisa berhenti operasi, apabila air sungai surut saat kemarau panjang. Hanya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yang relatif stabil menghasilkan daya listrik.

Transisi energi bersih akan semakin kompetitif, berkat kemajuan sains dan teknologi. Biaya pembangunan infrastruktur EBT cenderung turun dari waktu ke waktu, sehingga proses produksi netral karbon (NZE) semakin kompetitif.

Berikutnya, hal ini akan menciptakan peluang pekerjaan berkualitas lebih tinggi, meningkatkan ketahanan energi, dan pada akhirnya listrik dari EBT bukan hanya andal dan efisien, tapi juga terjangkau masyarakat.

————-
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).